Tokoh-tokoh Penyebar Agama
Islam di Kalimantan
Agama Islam
mulai masuk ke Kalimantan pada awal abad ke-16. Akan tetapi, Islam mulai
berkembang setelah para pejuang Islam dari Kesultanan Demak datang ke
Banjarmasin. Pasukan Demak diminta bantuan oleh Pangeran Samudra untuk
memadamkan perselisihan di Daha.
Setelah
memperoleh kemenangan, Pangeran Samudra pun memeluk agama Islam dan diangkat
sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Pangeran Samudra menetapkan agama
Islam sebagai agama resmi negara. Namun demikian, agama Islam belum berkembang
luas. Agama Islam tersebar luas di Kalimantan, khusunya di Kesultanan Banjar,
setelah dua orang ulama terkemuka berdakwah di Kalimantan Selatan. Ulama
tersebut adalah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Muhammad Nafis.
Kedua ulama ini sangat berpengaruh dan merupakan tokoh penting dalam penyebaran
agama Islam di Kalimantan Selatan.
a) Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis
dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari
keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa
kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya
dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta’zim kepada kedua orang
tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah
SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni,
khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan
Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung
Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang
indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab
orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat
sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik
Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia ± 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang
tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas
anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan
menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah
tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya
yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya
menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun
memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan
yang solehah bernama tuan “BAJUT”, seorang perempuan yang ta’at lagi berbakti
pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia,
seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika
istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu
keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka
disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka
yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan
berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata
dan untaian do’a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka
pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al
Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al ‘Arif Billah Syekh
Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di
bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan
khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di
Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari,
Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh
Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan “Empat Serangkai
dari Tanah Jawi” yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah
kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi
yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung
pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan
kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan
penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M,
sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar
pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau
dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh
Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk
menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga,
kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah
seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai
beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun
metode-metode tersebut, yaitu:
Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan
dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan
secara langsung oleh murid-murid beliau.
Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti
siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang
tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang
menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab
Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia,
Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di
wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M)
Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan
dimakamkan di desa
Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan
Datuk Kalampayan.
b) Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Dalam deretan ulama
Banjar, nama Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli
syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf.
Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama
terkemuka Nusantara.
Dialah pengarang
“Durr Al-Nafis” (permata yang indah), kitab berbahasa Jawi yang dicetak berulang-ulang
di Timur Tengah dan Nusantara, yang masih dibaca sampai sekarang. Dia berada
dalam urutan kedua setelah Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari segi
pengaruhnya atas kaum muslimin di Kalimantan.
Syeikh Muhammad
Nafis al-Banjari bin Idris bin Husien, lahir sekitar tahun 1148 H/1735 M, di
Kota Martapura Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan
Banjar, silsilah dan keturunanya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545
M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam sebelumnya bernama Pangeran
Samudera.
Silsilah lengkapnya
adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husien bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran
Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin
Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan
Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode sama
dengan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Jika Arsyad
meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita
ketahui, peristirahatan terakhir beliau di Mahar Kuning Desa Bintaru, sekarang
menjadi bagian Kelua Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, sekitar 125
kilometer dari Banjarmasin. Tidak ada catatan pasti tahun pergi menuntut ilmu
ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pada usia dini sangat
muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya
Martapura.
Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak
jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga
kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad
al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi al-Mishry (syekh al-Azhar sejak
1207 H/ 1794 M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan
Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
Dari para gurunya
itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan
pengetahuan dan lelaku tasawufnya sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh
Mursyid.” Dengan gelar itu, ia beroleh ijazah untuk mengajarkan dan membimbing
ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan,
tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.
Sekian lama berada
di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210 H/1795.
Saat itu, yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam
Banjar XVI, 1778-1808 M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan,
ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah
yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah perkembangan
Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh
Muhammad Arsyad.
Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum
terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis
mengenalkan Islam di sana. Berkat
kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama
Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para
pejuang anti-Belanda.
Dalam berdakwah,
Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di
Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh
Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang wujudiyyah, dakwah tasawuf
ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari
corak tasawuf yang diusungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi
yang diposisikan secara diametral.
Ia juga tampak tak
terikat dengan satu tarekat secara total. Shingga, menurut pengakuannya sendiri,
ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah,
dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu
seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai
jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa
pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.
Ciri khas ajaran
tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah.
Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari
menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas.
Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih
baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.
Sebab itulah,
ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat
Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab
karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan
Belanda karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik
dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari
kontroversi ajaran sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus
berlanjut sampai ia wafat.
ISLAM DI KALIMANTAN
Bebeda dengan Muhammad
Arsyad yang menjadi perintis pusat pendidikan Islam, Muhammad Nafis
mencemplungkan dirinya dalam usaha penyebarluasan Islam di wilayah pedalaman
Kalimantan. Dia memerankan dirinya sebagai ulama sufi kelana yang khas,
keluar-masuk hutan menyebarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu
beliau memainkan peranan penting dalam mengembangkan Islam di Kalimantan.
Islam masuk
Kalimantan Selatan lebih belakangan ketimbang misalnya, Sumatera Utara dan
Aceh. Seperti diungkapkan Azra, diperkirakan pada awal abad ke-16 sudah ada
sejumlah muslim di sini, tetapi Islam baru mencapai momentumnya setelah pasukan
Kesultanan Demak datang ke Banjarmasin untuk membantu Pangeran Samudra dalam
perjuangannya melawan kalangan elite di Kerajaan Daha. Setelah kemenangannya,
Pangeran Samudra beralih memeluk Islam pada sekitar tahun 936/1526, dan
diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjar. Dia diberi gelar Sultan
Suriansyah atau Surian Allah oleh seorang da’i Arab.
Dengan berdirinya
Kesultanan Banjar, otomatis Islam dianggap sebagai agama resmi negara. Namun
demikian, kaum muslimin hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan
penduduk. Para pemeluk Islam, umumnya hanya terbatas pada orang-orang Melayu.
Islam hanya mampu masuk secara sangat perlahan di kalangan suku Dayak. Bahkan di kalangan kaum Muslim Melayu,
kepatuhan kepada ajaran Islam boleh dibilang minim dan tidak lebih dari sekadar
pengucapan dua kalimah syahadat. Di bawah para sultan yang turun-temurun hingga
masa Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis, tidak ada upaya yang serius dari
kalangan istana untuk menyebarluaskan Islam secara intensif di kalangan
penduduk Kalimantan. Karena itu, tidak berlebih jika Muhammad Nafis dan
terlebih Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan tokoh penting dalam proses Islamisasi lebih lanjut di Kalimantan. Dua
orang ini pula yang memperkenalkan gagasan-gagasan keagamaan baru di Kalimantan
Selatan.
DAYA SPIRITUAL DAN KEWAJIBAN SYARIAT
Tak banyak karya
yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak
hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga mancanegara. Di antara kitabnya
adalah al-Durr al-Nafs. Nama kitab “Durr Al-Nafis” sesungguhnya amatlah
panjang. Lengkapnya, kitab yang ditulis di Makkah pada 1200/1785 ini: “Durr
Al-Nafis fi Bayan Wahdat Al-Af’al Al-Asma’ wa Al-Shifat wa Al-Dzat Al-Taqdis”.
Kitab ini berkali-kali dicetak di Kairo oleh Dar Al-Thaba’ah (1347/192 8)dan
oleh Musthafa Al-Halabi (1362/1943), di Makkah oleh Mathba’at Al-Karim
Al-Islamiyah (1323/1905), dan di berbagai tempat di Nusantara. Kitab ini
menggunakan bahasa Jawi, sehingga dapat dibaca oleh orang-orang yang tidak
faham bahasa Arab.
Seperti diungkapkan
Azyumardi Azra, dalam kitabnya itu, Muhammad Nafis dengan sadar berusaha
mendamaikan tradisi Al-Ghazali dan tradisi Ibn ‘Arabi. Dalam karyanya ini, di
samping menggunakan ajaran-ajaran lisan dari para gurunya, Nafis merujuk pada
karya-karya “Futuhat Al-Makkiyah” dan “Fusushl-Hikam” dari Ibn ‘Arabi, “Hikam”
(Ibn Atha’illah), “Insan Al-Kamil” (Al-Jilli), “Ihya’ ‘Ulumiddin” dan “Minhaj
Al-‘Abidin (Al-Ghazali), “Risalat Al-Qusyairiyyah” (Al-Qusyairi), “Jawahir wa
Al-Durar” (Al-Sya’rani), “Mukhtashar Al-Tuhfat al-Mursalah” (‘Abdullah bin
Ibrahim Al-Murghani), dan “Manhat Al-Muhaammadiyah” karya Al-Sammani.
Kitab itu membicarakan sufisme dan Tauhid, menjelaskan
maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Al-Durr
al-Nafs ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah.
Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para salik
(perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum
menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk
memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi,
kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun luar negeri.
Sebagai penganjur
aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam
di Banjar sangatlah besar. Tak aneh kalau kemudian ia diberi gelar Maulana
al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah (Yang mulia, berilmu
tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan
masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu
memang tak berlebihan baginya.
Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk
mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan
Muhammad Nafis al- Banjari dalam
konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah beliau mampu
merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari sang ulama tersebut.
Dari peran beliau kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar
perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga
paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh
Islam dulu, kini dan esok.
Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu
yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang
mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.
KARYA
Karya beliau yang
terkenal ialah ad-Durr an-Nafis. Kitab tersebut selesai ditulis pada 27 Muharam
1200 H/30 November 1785 M. Cetakan pertama kitab ini ditashhih oleh Syeikh
Ahmad al-Fathani, di Mathba'ah al-Miriyah bi Bulaq, Mesir al-Mahmiyah. Pada
terbitan pertama tercantum syair Syeikh Ahmad al-Fathani:
"Berpeganglah kamu dengan ilmu orang sufi, Nescaya kamu
menyaksikan bagi Tuhanmu itu keesaan. Wahai yang meninggalkan sebaik-baik teman
sekedudukan, Adalah kitab ini mengandung maksud keseluruhan, Seperti lautan,
daripadanya tiap-tiap yang berharga penilaian''.
Sebagai keterangan
lanjut Syeikh Ahmad al-Fathani mencatatkan, ``Ketahui olehmu hai yang waqif
atas kitab ini. Bahawa segala naskhah kitab ini sangatlah bersalah-salahan
setengah dengan setengahnya, dan tiada hamba ketahuikan mana-mana yang muafakat
dengan asal naskhah Muallifnya. Maka hamba ikutkan pada naskhah yang hamba cap
ini akan barang yang terlebih elok dan munasabah. Dan tiada hamba kurangkan
daripada salah suatu daripada beberapa naskhah itu akan sesuatu kerana
ihtiyat''.
Ad-Durr an-Nafis cetakan pertama Syeikh Ahmad al-Fathani
telah memberi keterangan beberapa istilah seperti terdapat pada
kalimat-kalimat:
1. Maka hendaklah lihat olehmu kepada Abi Bakar, iaitu
ibarat daripada mati nafsu yang ammarah ...''Syeikh Ahmad al-Fathani
menjelaskan, bahawa nafsu ammarah, ialah ``nafsu yang cenderung kepada
kejahatan''.
2. Bermula hasilnya segala wujud sesuatu itu dengan
dinisbahkan kepada wujud Allah Taala yang haqiqi itu khayal, dan waham, dan
majaz jua, kerana wujudnya antara dua `adam Bermula wujud yang antara dua `adam
itu `adam jua adanya ...''. Keterangan Syeikh Ahmad al-Fathani, ``Dua `adam,
ertinya `adam lahiq dan `adam sabiq. Pengertian `adam lahiq, ialah tiada yang
mengikut. Pengertian `adam sabiq, ialah tiada yang mendahului''.
3. Dan pada sekira-kira zahir mumkin itu lain daripada Allah
Taala. Dan sekira-kira haqiqatnya wujud mumkin itu, iaitu `ain wujud Allah
Taala. Dan misalnya seperti buih dan ombak...''. Keterangan Syeikh Ahmad
al-Fathani, ``Katanya, ``Dan pada sekira-kira zahir dan pada sekira-kira
haqiqat ...'', maka kedua (-dua) itu `athaf. Katanya, ``Pada sekira-kira wujud,
dan dhamir pada haqiqatnya dan dhamir pada nyatanya. Kedua (-dua) itu kembali
kepada buih, dan dhamir daripadanya itu kembali kepada air''.
4. Syeikh Ahmad al-Fathani menjelaskan istilah ma'iyah, kata
beliau, ``Yakni berserta: a. ittihad = bersuatu. b. hulul = bertempat. c.
khayal, yakni apabila kita lihat jauh ada sesuatu, dan kita lihat dekat tiada
ada, seperti alung-alung di tengah jalan Madinah''. Ad-Durr an- Nafis setelah
cetakan pertama oleh Matba'ah al-Miriyah di Bulaq, Mesir tahun 1302 H/1884 M
yang diusahakan dan ditashhih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani itu terdapat
berbagai-bagai edisi.
Mungkin hanya ini, kalo nggak ada daftar isi atau daftar pustakanya buat sendiri aja yah, ;)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar